Selamat malam menjelang sahur pembaca yang budiman.
*naik podium*
*dilemparin tomat busuk*
Jadi, untuk tengah malam yang suram ini aku akan sedikit bercerita tentang pengalaman kerja aku. Tsah, anak SMA umur 14 tahun gini mana bisa punya pengalaman kerja? Becanda kali ye!
Iya, gini-gini aku juga pernah dilabeli sebagai wanita karir lho, teman-teman. Yah, berkarir di warung nenek sih, tapi itu tetap karir kan? Profit dan masa depannya cukup menjanjikan kok, meskipun jualannya lebih mirip warung tegal gitu.
Baiklah, lupakan pendahuluan yang lagi-lagi untuk yang entah keberapa kalinya penting-nggak-penting harus tetap dibaca. Jadi, setelah ini Syifa bakal ceritakan sedikit tentang pengalaman wawancara kerja yang pernah dialami untuk yang pertama kalinya, first chance never die.
Beberapa waktu lalu, aku pernah ditawari kerja untuk menjadi seorang proofreader dari sebuah penerbit buku di Yogyakarta. Sebagai salah seorang dari ratusan juta spesies di dunia yang suka membaca, tentu aku tertarik dong, apalagi ini kesempatan pertama aku untuk menyelami lebih jauh lautan Antartika tentang dunia penerbitan dan perbukuan di Indonesia. Yah, semoga aja suatu saat nanti bisa jadi bagian kru di belakang layar GagasMedia ya *aminin dong, Amin*
Nah, karena domisili aku sendiri memang bukan di Yogyakarta, lebih tepatnya pinggiran Kota Bandung yang semakin masuk menuju pedalaman, tentu aku nggak bisa melakukannya dengan mobile, mengingat aku juga masih pelajar kelas 10 SMA saat itu. Ya bisa dikatakan aku bekerja LDR bareng sama penerbit itu, keren kan bisa Long-Distance-Relationship-an sama penerbit? Mweheheh.
Aku tahu lowongan kerja ini dari akun twitter penerbit tersebut, saat tahu itu nggak banyak mikir ya langsung aja kirim CV untuk ikutan daftar. Dan memang sih, nggak ada kewajiban buat pendaftar terpilih untuk datang ke kantornya langsung, asal bisa berkomunikasi via surat elektronik, jejaring sosial, dan SMS juga udah lebih dari cukup.
Nah, kali ini aku mau cerita soal wawancara kerjanya. Yaelah, dari tadi ngapain aja? Iya kan tadi cuma intro dulu, biar kayak novel-novel gitu, panjang ceritanya.
Jadi, wawancara kerjanya juga dilakukan dari surat elektronik. Padahal ya bisa aja sih pakai Skype, cuma ya udah sih emang maunya penerbit itu pakai email, nggak mau ribet mungkin ya. Nah, bulan Oktober itu aku diwawancara deh tuh sama pihak penerbit. Duuh, rasanya diwawancara tuh ya dag-dig-dug-serr gimana gitu, seolah-olah kayak induk katak yang mau lahiran *aku nggak tau sih apa korelasinya*
Sebelumnya aku juga pernah sih mengalami wawancara gini, tapi bukan dalam hal penerimaan kerja, lebih tepatnya sih wawancara atau tes seleksi buat ikut kegiatan sana-sini yang berhubungan sama sekolah, semacam forum diskusi pelajar, peliput berita, atau kalau nggak pemilihan duta gitu deh. Dan wawancara ini, semacam first time yang pasti beda sama interview sebelum-sebelumnya.
Wawancara dimulai setelah aku menerima pesan surat elektronik itu. Iyalah, kalau nggak, gimana mau tahu pertanyaan yang diajukannya apa (?) Nggak begitu banyak sih pertanyaannya, dan yang pasti nggak sesulit ulangan Matematika yang biasanya berjumlah 40 soal dengan waktu 90 menit aja *efek UAS minggu-minggu kemarin* Dan yang pasti, durasi menjawabnya juga bisa lebih lama dari UAS, tapi ASAP a.k.a as soon as possible, ya makanya aku cuma butuh waktu nggak lebih dari satu jam untuk jawabnya, itu pun dengan jawaban yang menurutku asal-asalan, asal jawab, asal benar :D
Meskipun aku mau banget diterima jadi proofreader, tapi entah kenapa pas jawab pertanyaannya aku seolah merasa ‘mencandakan’ jawaban-jawabannya. Main-main. Mostly, saat itu dampak dari kutub utara yang hampir meleleh mungkin ya. Eh nggak, mungkin akibat dari habis nonton acara stand up comedy, bukan acara goyang-goyangan itu yang pasti, hehe.
Nah, berikut salah satu pertanyaan yang diajukan pihak penerbit tersebut yang biasanya selalu ditanyakan juga kalau kita melakukan wawancara kerja secara ‘nyata’.
Pernah mempunyai pengalaman berorganisasi sebelumnya? Apa perbedaan yang kamu rasakan ketika sebelum dan sesudah mengikuti suatu organisasi tersebut?
Organisasi ya, aku sering mengikuti kegiatan ini di sekolah, salah satunya adalah OSIS. Aku ingat ketika waktu itu menjalani serangkaian seleksi masuk, salah satunya adalah pelantikan. Biasanya, pelantikan ini dijadikan ajang ‘ngerjain habis-habisan’ adik kelas sebagai pembalasan dari perlakuan OSIS periode sebelumnya. Aku kadang kesal juga ya saat itu karena harus dijadikan ‘korban’ oleh kakak-kakak kelas, mulai dari hormat ke bendera dengan lamanya, diguyur sama air yang entah apa campurannya, disuruh push-up kalau melakukan kesalahan, sampai disuruh angkat besi menjelang SEA GAMES.
Ya, pahit manis menjalankan organisasi benar-benar aku rasakan lah. Satu hal yang membuat aku sadar saat itu adalah kekompakan. Aku merasakan perbedaan ketika sebelum dan sesudah ikut pelantikan, kami hampir menjadi partisipan perang di jalur Gaza secara tiap pelantikan disuruh jalan merangkak *ini jawabannya niru tulisan Kemal Pahlevi*
Hmm... jawabannya emang nggak lucu-lucu banget sih, lagian mood aku saat itu juga rasanya ogah-ogahan gitu ya, mikirnya ya udah lah, diterima ataupun nggak, penguin kan masih tetap hidup di kutub, nggak ada yang perlu dikhawatirkan berlebihan.
Setelah membalas pesannya, sehari kemudian penerbit membalas, ya intinya sih diterima. Eh tapi, bilangnya jawabannya serius amat. Lho, padahal niatnya kan mau dibecandain, dilucu-lucuin, yah gagal bikin ketawa deh :( Heran! Terus, penerbit itu juga bilang bahasanya terlalu formal. YAELAH, Mbak/Mas saya nulis gitu demi PENCITRAAN, biar dikata kalau proofreader kayak saya itu anti typo, dan yang pasti cinta EYD *piiis*
Hmm... Yah, gitu sih pengalaman wawancara kerja tidak nyata aku untuk yang pertama itu. Akhirnya diterima juga jadi proofreader, setidaknya buat awal di masa depan aku yang bercita-cita jadi tukang masak *korelasi aneh lagi* Yang senang adalah, saat menerima fee, hihiw. Nggak begitu besar sih, lagian apa sih yang diharapkan dari kerjaan sampingan gitu, tapi lumayan lah uangnya bisa dibeliin buku sama jajan permen satu biji, sayangnya mimpi beli permen itu nggak kesampean, soalnya uangnya aku kasih sama Mamah, kan aku anak berbakti yang budiman dan berjiwa ksatria *tebar ciuman*
Ngomong-ngomong, wawancara kerja itu nggak harus serius kok. Sepengalaman aku sih, semakin gokil jawabannya semakin besar kesempatan kamu nggak diterima bekerja. Eh, tergantung perusahaannya sih, pokoknya jangan dibawa enteng dan jangan dibawa berat, nanti capek sendiri. In case, interview itu semacam gerbang awal buat iya atau tidak kita bekerja disitu, yang penting jujur jawab ajalah~ Ya kan? *sok bijak padahal kerja aja belum* *kemudian aku kembali ke kehidupan nyata aku, SEKOLAH*
by.asysyifaahs♥
Post a Comment
Thanks for coming. I am glad you have reading this so far.
♥, acipa