Kakak
Malam
sudah jauh malam, tapi aku masih saja tak dapat memejamkan mataku barang
sekejap. Aku masih memikirkan cerita apa yang harus kuserahkan pada guru Bahasa
Indonesiaku untuk perlombaan nanti. Aku terlalu takut menyusun kata-kata ini.
Rasanya seperti ada sesuatu yang menghalangiku untuk menorehkan kalimat-kalimat
di atas kertas bergaris itu.
Untuk
kesekian kalinya, aku masih memandangi kertas di depanku. Kosong. Hanya ada
satu kata yang tertera di atas bagian tengah, Kakak. Ya, hanya judul. Apakah
aku memang tak pernah mempunyai bakat untuk menulis?
Dua
bulan yang lalu, aku baru mengenalnya. Perkenalan melalui jejaring sosial. Aku
memang baru mengenalnya –sangat baru– tapi aku merasa lebih dari itu,
menganggapnya sebagai Kakak (palsuku), terlebih aku memang tak mempunyai kakak
kandung.
Banyak
hal yang kami bagi satu sama lain, menulis, cerita, puisi, novel, buku, itu
yang kami senangi untuk diceritakan. Tak hanya itu, masalah kehidupan pun
kadang kubagi pula, walaupun aku yang terlalu sering bercerita padanya. Persahabatan,
perselisihan, percintaan, senang-sedih, suka-duka, galau, semua kutumpahkan
cerita tersebut pada Kakak. Kupikir Kakak memang baik dapat mendengarkan cerita
anehku ini, awalnya.
Waktu
terus berlalu, dan cerita-cerita hidupku sudah banyak yang kubagi padanya.
Saran dan tanggapan Kakak masih menjadi komentar dari masalahku itu. Tapi,
sudah empat hari ini Kakak menghilang, tak ada lagi pembicaraan itu, tak ada
lagi kalimat puitis untuk menanggapi ceritaku.
Kakak
kemana? Apakah Kakak bosan dan muak terhadap ceritaku? Apakah Kakak malas
berbicara denganku? Apakah Kakak tak ingin mengajarkanku tentang dunia
tulis-menulis ini? Kenapa Kak? Kenapa?
Kakaklah
yang menjadi alasanku untuk menulis cerita ini. Kakaklah yang memberiku inspirasi
agar aku tak menyerah dalam menulis. Kakaklah yang selalu menjadi penyemangatku
agar aku selalu berusaha atas apa yang aku inginkan. Dan karena Kakaklah aku
masih bisa melanjutkan cerita ini.
Di
luar sana, ada banyak kesempatan yang dapat aku ambil yang lebih baik dari hal
menulis ini. Tapi, karena Kakak pulalah aku masih setia dengan bidang ini. Aku
memang masih takut merangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat ini, tapi
dari semangat yang Kakak ajarkanlah, aku berani menulis cerita tak jelas ini.
“Kak,
inilah cerita yang kutulis hanya untuk Kakak seorang. Aku tahu Kakak pergi
karena perilaku kekanak-kanakkanku. Tapi, entah harus bagaimana lagi, aku
bingung bagaimana menyampaikannya, dan dengan cerita inilah aku berharap Kakak
dapat kembali lagi, setia membaca dan mendengarkan ceritaku, memberikanku
semangat menggebu, dan mengajarkanku tentang dunia tulis-menulis lagi. Aku
rindu saat-saat itu. Aku rindu. Kembalilah, Kak,”. I<3PA
Post a Comment
Thanks for coming. I am glad you have reading this so far.
♥, acipa