“Teng..
teng.. teng” bel pulang sekolah berbunyi. Ini saatnya kami membereskan semua
peralatan sekolah yang terlihat berserakan dibangku masing-masing. Buku, pensil,
penghapus, dan pulpen kembali ke alamnya masing-masing. Setelah teman-temanku tak
terlihat dari pandangan, aku menutup pintu kelas dengan perlahan. Rasanya malas
untuk pulang ke rumah. Lalu terpikirlah di benakku untuk pergi ke kantin
menemui seorang wanita setengah baya bersifat lemah lembut bagai bidadari yang
diutus untuk menemaniku dikala galau mendera.
“Kenapa
Neng? Kok mukanya sedih gitu?” tanya Bi Inah, penjual bakso dan makanan ringan
di sekolahku. Mungkin dialah satu-satunya orang yang bisa aku ajak curhat.
Selain pandai menyimpan rahasia, Bi Inah juga terkadang memberiku solusi
terbaik untuk semua masalahku. “Emang orang tua de’ Tira pada kemana? Kok sampai
gak dianggap gitu?” Bi Inah menambahkan.
“Dimata
mereka, sepertinya aku ini bodoh Bi, gak cerdas kayak saudara-saudara yang
lain,” jawabku singkat.
“Sabar
aja ya Neng, Allah tidak tidur. Suatu saat Allah pasti akan membuka jalan
menuju kesuksesan itu,” kata Bi Inah lirih.
Aku
menghela napas. “Hmm iya Bi, lihat saja nanti akan aku buktikan kalau aku
bisa.”
Aku
tahu diri, saudara-saudaraku lebih pintar dariku. Walau aku selalu yakin, tak
ada orang yang bodoh dan pintar di dunia ini. Yang ada hanya orang malas dan
orang yang rajin. Mugkin bedanya, mereka bisa sekolah ke SMA favorit di
daerahnya masing-masing. Bagi mereka, I’m
is nothing!
Jujur,
sebenarnya aku malas pulang ke rumah. Karena aku sudah tak yakin ada yang
mempedulikan aku lagi. Namun karena besok aku harus kembali melakukan rutinitas
bersekolah akhirnya aku memutuskan untuk pulang.
Matahari
hampir tenggelam ketika aku masuk ke dalam rumah. Untunglah penghuni rumah
sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing sehingga tanpa basa-basi aku
langsung pergi ke kamar. Aku terdiam di balkon kamar sembari menikmati indahnya
pemandangan di sore hari. Sambil menulis diatas secarik kertas putih, sesekali
aku meneteskan air mata yang sedari dulu aku pendam sendiri dan bisa jadi
inilah puncak kesedihanku. Tanpa disadari jadilah sebuah cerita pendek
pertamaku yang berjudul “Lihat Saja Nanti”.
Ya, naluri menulisku memang lumayan, tapi sayangnya aku malu untuk
mempublikasikan karyaku pada khalayak ramai. Namun, sekaranglah waktunya
untukku menunjukkan ini pada kedua orangtuaku. Iseng-iseng aku mengirimkan
cerita pendek ini pada sebuah koran lokal.
Satu
hari setelah mengirimkan cerita pendek itu tiba-tiba Ayah menemuiku lalu memelukku
erat. “Kamu ternyata punya bakat menulis, Nak!” Ayah menatap mataku nanar.
Suasana mendadak mengharu biru.
Aku
terheran-heran, masih tak mengerti apa yang dikatakan Ayah. Perlahan ia melepaskan pelukannya lalu menunjukkan sebuah
koran remaja. Disana tercantum judul cerita pendekku, dan dibawahnya tertulis
namaku. Oh ternyata cerita pendekku dimuat dalam koran tersebut!
Post a Comment
Thanks for coming. I am glad you have reading this so far.
♥, acipa