Abang : Menulislah !
Malam sudah jauh malam. Mataku masih saja mencari
huruf-huruf, kata-kata, bahkan kalimat-kalimat yang tepat untuk cerpen yang
akan kuikut sertakan dalam lomba nanti. Bisikan-bisikan syetan semakin
menggaung keras di telingaku. Mataku sudah lelah. Jari-jari tanganku lemas
seperti tak berdarah. Memang sudah seminggu ini aku bermain dengan malam, dan
aku sudah berhasil menaklukkan malam-malam itu, tak terkecuali malam ini.
Pekerjaanku ini terasa berat, berat sekali, dan memang
sangat berat sekali. Aku memang sudah lama meninggalkan dunia tulis menulis
–yang dulu menjadi hobi kesayanganku. Aku jenuh. Aku bosan. Jujur saja, aku
merasa semua karya yang telah kuciptakan tak pernah menjadi kebanggaan, semua
yang telah kutulis —di buku harian ataupun buku lainnya— seakan tak berarti,
sia-sia. Kalau tak ada Abang, mungkin aku sudah membuang semua coretan-coretan
ini. Namun aku teramat sayang padanya. Begitu sayangnya pada dia.
Kata Abang, aku tak boleh berhenti menulis. Apapun yang
terjadi, aku harus tetap menulis. Bagaimanapun hasil tulisanku, aku tetap saja
harus menulis. Abang, tak pernah lelah menanam kata-katanya dalam memoriku akan
menulis. Ingatan yang jika aku melupakannya, seakan aku telah melakukan sesuatu
kesalahan besar padanya. Di luar sana, banyak dunia lain yang mungkin lebih
menyenangkan dan menjanjikan untukku, hidupku, dan kehidupanku. Aku memang
pernah merasakannya, tapi aku teramat merasa berdosa terhadap Abang, jika aku
melupakan dan menghilangkan hobi menulis itu.
Abang memang belum lama menjadi pembimbingku. Dua bulan yang
lalu aku bertemu dengannya, baru sesingkat ini –sangat singkat. Namun rasanya,
sosok Abang tak pernah tenggelam sejak pertemuan itu.
Ah . . . maka dari itu, kutulis cerita ini untuk Abang. Aku
tak tahu apakah Abang masih bersemangat membimbingku atau tidak, tetapi aku
akan berusaha sekuat mungkin untuk mewujudkan apa yang Abang inginkan.
Cita-citaku hanyalah dapat menulis seperti Abang. Aku tak ingin mengecewakan Abang.
“Bang . . . ini cerita baru untuk Abang. Kumohon Abang tetap
ada, sekalipun aku mudah jenuh, mudah muak dengan dunia tulisan ini. Tapi aku
akan tetap menulis untuk Abang,”.
Kupersempahkan cerita ini untuk Abang, agar Abang tau, bahwa
aku merindukan bimbingan Abang seperti dulu.
“Menulislah, karena yakin tulisan kita
bisa merubah. Menulislah, karena yakin tulisan kita bisa menghibur. Menulislah,
karena yakin tulisan kita bisa memahami. Menulislah, dengan keyakinan bahwa itu
bisa merubah, menghibur, dan menemani. Menulislah! Karena dunia ini akan jauh
lebih baik jika semua orang pintar menulis. Menulislah!”
-Tere
Liye-
Post a Comment
Thanks for coming. I am glad you have reading this so far.
♥, acipa